Jumat, 09 Mei 2014

Manifestasi Ida Sang Hyang Widhi dalam sosok tiga Dewa yang mewakili tiga siklus hidup manusia Lahir, Hidup, dan Mati.



 kutipan artikel dari wikipedia.org
 ====================================
 DEWA BRAHMA

 Dewa Hindu
Dewa pencipta, dewa pengetahuan
Ejaan Dewanagari ब्रह्मा
Ejaan Pali Brahmā
Ejaan IAST Brahmā
Golongan Dewa
Senjata Gada
Wahana Angsa
Pasangan Saraswati

Menurut ajaran agama Hindu, Brahma (Dewanagari: ब्रह्माIASTBrahmā) adalah Dewa pencipta. Dalam filsafat Adwaita, ia dipandang sebagai salah satu manifestasi dari Brahman (sebutan Tuhan dalam konsep Hinduisme) yang bergelar sebagai Dewa pencipta. Dewa Brahma sering disebut-sebut dalam kitab Upanishad dan Bhagawadgita.

Brahma dalam Bhagawadgita

Dalam kitab suci Bhagawadgita, Dewa Brahma muncul dalam bab 8 sloka ke-17 dan ke-18; bab 14 sloka ke-3 dan ke-4; bab 15 sloka ke-16 dan ke-17. Dalam ayat-ayat tersebut, Dewa Brahma disebut-sebut sebagai Dewa pencipta, yang menciptakan alam semesta atas berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawadgita juga disebutkan, siang hari bagi Brahma sama dengan satu Kalpa, dan Brahma hidup selama seratus tahun Kalpa, setelah itu beliau wafat dan dikembalikan lagi ke asalnya, yakni Tuhan Yang Maha Esa.

Dewa pencipta

Menurut agama Hindu, Brahma adalah salah satu di antara Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa). Dewa Brahma juga bergelar sebagai Dewa pengetahuan dan kebijaksanaan. Beberapa orang bijaksana memberinya gelar sebagai Dewa api. Dewa Brahma beristrikan Dewi Saraswati, yang menurunkan segala ilmu pengetahuan ke dunia.
Menurut mitologi Hindu, Dewa Brahma lahir dengan sendirinya (tanpa Ibu) dari dalam bunga teratai yang tumbuh di dalam Dewa Wisnu pada saat penciptaan alam semesta. Legenda lain mengatakan bahwa Dewa Brahma lahir dari air. Di sana Brahman menaburkan benih yang menjadi telur emas. Dari telur emas tersebut, lahirlah Dewa Brahma Sang pencipta. Material telur emas yang lainnya menjadi Brahmanda, atau telur alam semesta.
Menurut cerita kuno, pada saat penciptaan alam semesta, Brahma menciptakan sepuluh Prajapati, yang konon merupakan ayah-ayah (kakek moyang) manusia pertama. Menurut Manusmrti, sepuluh Prajapati tersebut adalah: Marichi, Atri, Anggirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Wasistha, Praceta atau Daksa, Briegu, dan Narada. Ia juga konon menciptakan tujuh pujangga besar yang disebut Sapta Rsi untuk menolongnya menciptakan alam semesta.
Menurut kisah di balik penulisan Ramayana, Dewa Brahma memberkati Resi Walmiki untuk menulis kisah Ramayana, menceritakan riwayat Rama yang pada masa itu sedang memerintah di Ayodhya.

Penggambaran


Ukiran Dewa Brahma di Halebid, India.
Dewa Brahma memiliki ciri-ciri sesuai dengan karakter yang dimilikinya. Ada ciri-ciri umum yang dimiliki Dewa Brahma, yakni:
  • bermuka empat yang memandang ke empat penjuru mata angin (catur muka), yang mana pada masing-masing wajah mengumandangkan salah satu dari empat Veda.
  • bertangan empat, masing-masing membawa:
  1. Tongkat Teratai, kadangkala sendok (Brahma terkenal sebagai Dewa yadnya atau upacara)
  2. Weda/kitab suci
  3. Busur
  4. Genitri Akṣamālā
  • menunggangi hamsa (angsa) atau duduk di atas teratai

Siklus Dewa Brahma

Brahma hidup selama seratus tahun Kalpa. Satu tahun Kalpa sama dengan 3.110.400.000.000 tahun. Setelah seratus tahun Kalpa, maka Dewa Siwa sebagai Dewa pelebur mengambil perannya untuk melebur alam semesta beserta isinya untuk dikembalikan ke asalnya. Setelah itu, Brahma sebagai pencipta tutup usia, dan alam semesta bisa diciptakan kembali oleh kehendak Tuhan.

Lihat pula

Pranala luar



--------------------------------------------------------------------------------------------------------------




 DEWA WISNU

 Dewa Hindu
Dewa pemelihara, pelindung alam semesta
Ejaan Dewanagari विष्णु
Ejaan IAST viṣṇu
Nama lain Narayana
Golongan Dewa
Planet Waikunta
Senjata Cakra Sudarsana
Wahana Garuda
Pasangan Laksmi
Mantra Om Namo Nārāyanaya

Dalam ajaran agama Hindu, Wisnu (Dewanagari: विष्णु ; Viṣṇu) (disebut juga Sri Wisnu atau Nārāyana) adalah Dewa yang bergelar sebagai shtiti (pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam filsafat Hindu Waisnawa, Ia dipandang sebagai roh suci sekaligus dewa yang tertinggi. Dalam filsafat Adwaita Wedanta dan tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu manifestasi Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman.

Etimologi

Penjelasan tradisional menyatakan bahwa kata Viṣṇu berasal dari Bahasa Sanskerta, akar katanya viś, (yang berarti "menempati", "memasuki", juga berarti "mengisi" — menurut Regweda), dan mendapat akhiran nu. Kata Wisnu kira-kira diartikan: "Sesuatu yang menempati segalanya". Pengamat Weda, Yaska, dalam kitab Nirukta, mendefinisikan Wisnu sebagai vishnu vishateh ("sesuatu yang memasuki segalanya"), dan yad vishito bhavati tad vishnurbhavati (yang mana sesuatu yang tidak terikat dari belenggu itu adalah Wisnu).
Adi Shankara dalam pendapatnya tentang Wisnu Sahasranama, mengambil kesimpulan dari akar kata tersebut, dan mengartikannya: "yang hadir dimana pun" ("sebagaimana Ia menempati segalanya, vevesti, maka Ia disebut Visnu"). Adi Shankara menyatakan: "kekuatan dari Yang Mahakuasa telah memasuki seluruh alam semesta." Akar kata Viś berarti 'masuk ke dalam.'
Mengenai akhiran –nu, Manfred Mayrhofer berpendapat bahwa bunyinya mirip dengan kata jiṣṇu' ("kejayaan"). Mayrhofer juga berpendapat kata tersebut merujuk pada sebuah kata Indo-Iranian *višnu, dan kini telah digantikan dengan kata rašnu dalam kepercayaan Zoroaster di Iran.
Akar kata viś juga dihubungkan dengan viśva ("segala"). Pendapat berbeda-beda mengenai penggalan suku kata "Wisnu" misalnya: vi-ṣṇu ("mematahkan punggung"), vi-ṣ-ṇu ("memandang ke segala penjuru") dan viṣ-ṇu ("aktif"). Penggalan suku kata dan arti yang berbeda-beda terjadi karena kata Wisnu dianggap tidak memiliki suku kata yang konsisten.

Wisnu dalam susastra Hindu


Lukisan Wisnu melakukan Triwikrawa saat menjelma sebagai Wamana. Lukisan ini berasal dari Nepal, dibuat sekitar abad ke-19.
Susastra Hindu banyak menyebut-nyebut nama Wisnu di antara dewa-dewi lainnya. Dalam kitab Weda, Dewa Wisnu muncul sebanyak 93 kali. Ia sering muncul bersama dengan Indra, yang membantunya membunuh Wretra, dan bersamanya ia meminum Soma. Hubungannya yang dekat dengan Indra membuatnya disebut sebagai saudara. Dalam Weda, Wisnu muncul tidak sebagai salah satu dari delapan Aditya, namun sebagai pemimpin mereka. Karena mampu melangkah di tiga alam, maka Wisnu dikenal sebagai Tri-wikrama atau Uru-krama untuk langkahnya yang lebar. Langkah pertamanya di bumi, langkah keduanya di langit, dan langkah ketiganya di dunia yang tidak bisa dilihat oleh manusia, yaitu di surga.
Dalam kitab Purana, Wisnu sering muncul dan menjelma sebagai seorang Awatara, seperti misalnya Rama dan Kresna, yang muncul dalam Itihasa (wiracarita Hindu). Dalam penitisannya tersebut, Wisnu berperan sebagai manusia unggul.
Dalam kitab Bhagawadgita, Wisnu menjabarkan ajaran agama dengan mengambil sosok sebagai Sri Kresna, kusir kereta Arjuna, menjelang perang di Kurukshetra berlangsung. Pada saat itu pula Sri Kresna menampakkan wujud rohaninya sebagai Wisnu, kemudian ia menampakkan wujud semestanya kepada Arjuna.

Wujud Dewa Wisnu

Dalam Purana, dan selayaknya penggambaran umum, Dewa Wisnu dilukiskan sebagai dewa yang berkulit hitam-kebiruan atau biru gelap; berlengan empat, masing-masing memegang: gada, lotus, sangkala, dan chakra. Yang paling identik dengan Wisnu adalah senjata cakra dan kulitnya yang berwarna biru gelap. Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu disebutkan memiliki wujud yang berbeda-beda atau memiliki aspek-aspek tertentu.
Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu memiliki enam sifat ketuhanan:
  • Jñāna: mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam semesta
  • Aishvarya: maha kuasa, tak ada yang dapat mengaturnya
  • Shakti: memiliki kekuatan untuk membuat yang tak mungkin menjadi mungkin
  • Bala: maha kuat, mampu menopang segalanya tanpa merasa lelah
  • Virya: kekuatan rohani sebagai roh suci dalam semua makhluk
  • Tèjas: memberi cahaya spiritualnya kepada semua makhluk
Beberapa sarjana Waisnawa meyakini bahwa masih banyak kekuatan Wisnu yang lain dan jumlahnya tak terhitung, namun yang paling penting untuk diketahui hanyalah enam.

Penggambaran


Wisnu dan Laksmi mengendarai Garuda. Lukisan dari Rajasthan, dibuat sekitar abad ke-18.
Dalam Purana, Wisnu disebutkan bersifat gaib dan berada dimana-mana. Untuk memudahkan penghayatan terhadapnya, maka simbol-simbol dan atribut tertentu dipilih sesuai dengan karakternya, dan diwujudkan dalam bentuk lukisan, pahatan, dan arca. Dewa Wisnu digambarkan sebagai berikut:
  • Seorang pria yang berlengan empat. Berlengan empat melambangkan segala kekuasaanya dan segala kekuatannya untuk mengisi seluruh alam semesta.
  • Kulitnya berwarna biru gelap, atau seperti warna langit. Warna biru melambangkan kekuatan yang tiada batas, seperti warna biru pada langit abadi atau lautan abadi tanpa batas.
  • Di dadanya terdapat simbol kaki Resi Brigu.
  • Juga terdapat simbol srivatsa di dadanya, simbol Dewi Laksmi, pasangannya.
  • Pada lehernya, terdapat permata Kaustubha dan kalung dari rangkaian bunga
  • Memakai mahkota, melambangkan kuasa seorang pemimpin
  • Memakai sepasang giwang, melambangkan dua hal yang selalu bertentangan dalam penciptaan, seperti: kebijakan dan kebodohan, kesedihan dan kebahagiaan, kenikmatan dan kesakitan.
  • Beristirahat dengan ranjang Ananta Sesa, ular suci.
Wisnu sering dilukiskan memegang empat benda yang selalu melekat dengannya, yakni:
  • Terompet kulit kerang atau Shankhya, bernama "Panchajanya", dipegang oleh tangan kiri atas, simbol kreativitas. Panchajanya melambangkan lima elemen penyusun alam semesta dalam agama Hindu, yakni: air, tanah, api, udara, dan ether.
  • Cakram, senjata berputar dengan gerigi tajam, bernama "Sudarshana", dipegang oleh tangan kanan atas, melambangkan pikiran. Sudarshana berarti pandangan yang baik.
  • Gada yang bernama Komodaki, dipegang oleh tangan kiri bawah, melambangkan keberadaan individual.
  • Bunga lotus atau Padma, simbol kebebasan. Padma melambangkan kekuatan yang memunculkan alam semesta.

Tiga wujud

Dalam ajaran filsafat Waisnawa (terutama di India), Wisnu disebutkan memiliki tiga aspek atau perwujudan lain. Ketiga wujud tersebut yaitu: Kāraṇodakaśāyi Vishnu atau Mahā Vishnu; Garbhodakaśāyī Vishnu; dan Kṣirodakasāyī Vishnu. Menurut Bhagawadgita, ketiga aspek tersebut disebut "Puruṣa Avatāra", yaitu penjelmaan Wisnu yang memengaruhi penciptaan dan peleburan alam material. Kāraṇodakaśāyi Vishnu (Mahā Vishnu) dinyatakan sebagai Wisnu yang berbaring dalam "lautan penyebab" dan Beliau menghembuskan banyak alam semesta (galaksi?) yang jumlahnya tak dapat dihitung; Garbhodakaśāyī Vishnu dinyatakan sebagai Wisnu yang masuk ke dalam setiap alam semesta dan menciptakan aneka rupa; Kṣirodakasāyī Vishnu (Roh utama) dinyatakan sebagai Wisnu masuk ke dalam setiap makhluk dan ke dalam setiap atom.

Lima wujud

Dalam ajaran di asrama Waisnawa di India, Wisnu diasumsikan memiliki lima wujud, yaitu:
  • Para. Para merupakan wujud tertinggi dari Dewa Wisnu yang hanya bisa ditemui di Sri Waikunta, juga disebut Moksha, bersama dengan pasangannya — Dewi Lakshmi, Bhuma Dewi dan Nila Di sana Ia dikelilingi oleh roh-roh suci dan jiwa yang bebas.
  • Vyuha. Dalam wujud Vyuha, Dewa Wisnu terbagi menjadi empat wujud yang mengatur empat fungsi semesta yang berbeda, serta mengontrol segala aktivitas makhluk hidup.
  • Vibhava. Dalam wujud Vibhava, Wisnu diasumsikan memiliki penjelmaan yang berbeda-beda, atau lebih dikenal dengan sebutan Awatara, yang mana bertugas untuk membasmi kejahatan dan menegakkan keadilan di muka bumi.
  • Antaryami. Antaryami atau “Sukma Vasudeva” adalah wujud Dewa Wisnu yang berada pada setiap hati makhluk hidup.
  • Arcavatara. Arcavatara merupakan manifestasi Wisnu dalam imajinasi, yang digunakan oleh seseorang agar lebih mudah memujanya sebab pikirannya tidak mampu mencapai wujud Para, Vyuha, Vibhava, dan Antaryami dari Wisnu.

Awatara


Sepuluh Awatara Dewa Wisnu.
Dalam Purana, Dewa Wisnu menjelma sebagai Awatara yang turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan dan kehancuran. Wujud dari penjelmaan Wisnu tersebut beragam, hewan atau manusia. Awatara yang umum dikenal oleh umat Hindu berjumlah sepuluh yang disebut Dasa Awatara atau Maha Avatār.[1]
Sepuluh Awatara Wisnu:
Di antara sepuluh awatara tersebut, sembilan di antaranya diyakini sudah menjelma dan pernah turun ke dunia oleh umat Hindu, sedangkan awatara terakhir (Kalki) masih menunggu hari lahirnya dan diyakini menjelma pada penghujung zaman Kali Yuga.

Hubungan dengan Dewa lain

Dewa Wisnu memiliki hubungan dengan Dewi Lakshmi, Dewi kemakmuran yang merupakan istrinya. Selain dengan Indra, Wisnu juga memiliki hubungan dekat dengan Brahmā dan Siwa sebagai konsep Trimurti. Kendaraan Dewa Wisnu adalah Garuda, Dewa burung. Dalam penggambaran umum, Dewa Wisnu sering dilukiskan duduk di atas bahu burung Garuda tersebut.

Tradisi dan pemujaan

Dalam tradisi Dvaita Waisnawa, Wisnu merupakan Makhluk yang Maha Kuasa. Dalam filsafat Advaita Vedanta, Wisnu dipandang sebagai salah satu dari manifestasi Brahman. Dalam segala tradisi Sanatana Dharma, Wisnu dipuja secara langsung maupun tidak langsung, yaitu memuja awatara-nya.
Aliran Waisnawa memuja Wisnu secara khusus. Dalam sekte Waisnawa di India, Wisnu dipuja sebagai roh yang utama dan dibedakan dengan Dewa-Dewi lainnya, yang disejajarkan seperti malaikat. Waisnawa menganut monotheisme terhadap Wisnu, atau Wisnu merupakan sesuatu yang tertinggi, tidak setara dengan Dewa.
Dalam tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu memanifestasikan dirinya menjadi Awatara, dan di India, masing-masing awatara tersebut dipuja secara khusus.
Tidak diketahui kapan sebenarnya pemujaan terhadap Wisnu dimulai. Dalam Veda dan informasi tentang agama Hindu lainnya, Wisnu diasosiasikan dengan Indra. Shukavak N. Dasa, seorang sarjana Waisnawa, berkomentar bahwa pemujaan dan lagu pujia-pujian dalam Veda ditujukan bukan untuk Dewa-Dewi tertentu, melainkan untuk Sri Wisnu — Yang Maha Kuasa — yang merupakan jiwa tertinggi dari para Dewa.[2]
Di Bali, Dewa Wisnu dipuja di sebuah pura khusus untuk beliau, bernama Pura Puseh, yakni pura yang harus ada di setiap desa dan kecamatan. Di sana ia dipuja sebagai salah satu manifestasi Sang Hyang Widhi yang memberi kesuburan dan memelihara alam semesta.
Menurut konsep Nawa Dewata dalam Agama Hindu Dharma di Bali, Dewa Wisnu menempati arah utara dalam mata angin. Warnanya hitam, aksara sucinya “U” (ung).

Versi pewayangan Jawa


Wisnu dalam bentuk wayang gaya Surakarta.
Dalam pementasan wayang Jawa, Wisnu sering disebut dengan gelar Sanghyang Batara Wisnu. Menurut versi ini, Wisnu adalah putra kelima Batara Guru dan Batari Uma. Ia merupakan putra yang paling sakti di antara semua putra Batara Guru.
Menurut mitologi Jawa, Wisnu pertama kali turun ke dunia menjelma menjadi raja bergelar Srimaharaja Suman. Negaranya bernama Medangpura, terletak di wilayah Jawa Tengah sekarang. Ia kemudian berganti nama menjadi Sri Maharaja Matsyapati, merajai semua jenis binatang air.
Selain itu Wisnu juga menitis atau terlahir sebagai manusia. Titisan Wisnu menurut pewayangan antara lain,
  1. Srimaharaja Kanwa.
  2. Resi Wisnungkara
  3. Prabu Arjunasasrabahu
  4. Sri Ramawijaya
  5. Sri Batara Kresna
  6. Prabu Airlangga
  7. Prabu Jayabaya
  8. Prabu Anglingdarma
  9. Prabu Ken Arok
  10. Prabu Kertawardhana

Catatan kaki

  1. ^ Slamet Mulyana, "Tafsir Sejarah Nagara Kretagama", LKiS, 2006, hlm: 68.
  2. ^ Sanskrit.org

Pranala luar

(Bahasa Inggris)


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------



 DEWA SIWA

Dewa Hindu
Dewa pelebur, dewa pemusnah
Ejaan Dewanagari शिव
Ejaan IAST Śiva
Nama lain Jagatpati, Nilakantha, Paramêśwara, Rudra, Trinetra
Golongan Dewa
Senjata Trisula
Wahana Lembu Nandini
Pasangan Dewi Parwati, Dewi Uma,
Dewi Durga, Dewi Kali


Siwa (Dewanagari: शिवIASTŚiva) adalah salah satu dari tiga dewa utama (Trimurti) dalam agama Hindu. Kedua dewa lainnya adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siwa adalah dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya.

Karakteristik

Umat Hindu, khususnya umat Hindu di India, meyakini bahwa Dewa Siwa memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan karakternya, yakni:
  • Bertangan empat, masing-masing membawa:
    trisula, cemara, tasbih/genitri, kendi
  • Bermata tiga (tri netra)
  • Pada hiasan kepalanya terdapat ardha chandra (bulan sabit)
  • Ikat pinggang dari kulit harimau
  • Hiasan di leher dari ular kobra
  • Kendaraannya lembu Nandini
Oleh umat Hindu Bali, Dewa Siwa dipuja di Pura Dalem, sebagai dewa yang mengembalikan manusia dan makhluk hidup lainnya ke unsurnya, menjadi Panca Maha Bhuta. Dalam pengider Dewata Nawa Sanga (Nawa Dewata), Dewa Siwa menempati arah tengah dengan warna panca warna. Ia bersenjata padma dan mengendarai lembu Nandini. Aksara sucinya I dan Ya. Ia dipuja di Pura Besakih.
Dalam tradisi Indonesia lainnya, kadangkala Dewa Siwa disebut dengan nama Batara Guru.

Putra

Menurut cerita-cerita keagamaan yang terdapat dalam kitab-kitab suci umat Hindu, Dewa Siwa memiliki putra-putra yang lahir dengan sengaja ataupun tidak disengaja. Beberapa putra Dewa Siwa tersebut yakni:
  1. Dewa Kumara (Kartikeya)
  2. Dewa Kala
  3. Dewa Ganesa

Lihat pula

Pranala luar


==========================================================================




demi kepentingan publik apakah mengkopi artikel seperti ini dilarang?
@bli-gembul post comentar jika ingin menjawab>>>>
om shanti shanti shanti om


Rabu, 07 Mei 2014

Sejarah Perkembangan Agama Hindu (page3)

Sejarah Perkembangan Agama Hindu
Article Index
Sejarah Perkembangan Agama Hindu
Page 2
Page 3





Sejak awal kita dapatkan informasi tentang struktur masyarakat Àrya yang menempatkan kedudukan pertama bagi para Bràhmaóa dan Kûatrìya, Vaiûya melaksanakan kebebasan untuk bertani, beternak, sebagai artis dan berdagang, dan Úudra menyediakan tenaga dan pelayanannya kepada semua orang. Di luar struktur ini terdapat penduduk asli, yang nantinya berasimilasi secara alami. Demikian juga masalah perbudakan kita temukan dalam sejarah India Kuno. Para Bràhmaóa adalah pelaksana Yajña, upacara korban yang sangat penting. 

Mantra-mantra pemujaan senantiasa berhubungan dengan Yajña dan diwariskan turun temurun secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya, dan dipertahankan dari pengaruh luar. Tradisi agama yang tersimpan dalam Itihàsa dan Puràóa dikenal adanya mùrti (arca) dan maóðir (pura), mujizat (keajaiaban), mitologi dan hal ini sangat populer dan kadang-kadang menggantikan agama Veda. Upacara Veda hingga kini  berlangsung dalam bentuk yang berbeda-beda. Namun kenyataannya dalam tradisi upacara korban nampak pengaruh local, dilaksanakan dan mendomonasi lingkup agama Hindu.

Di dalam kitab-kitab Puràóa disebutkan Åûi Agastya, seorang missionaris dari bangsa Àrya yang bertanggung jawab dalam penyebaran agama Hindu di India Selatan. Pengaruh Hindu selanjutnya berkembang sampai Asia Tenggara dan Indonesia selama masa keemasan India. Meskipun untuk beberapa abad agama Buddha dan jaina juga mengklaim banyak pengikut dan berkembang di bawah patron  raja dinasti Gupta di India Utara dan Pallava di Selatan, namun tersapu bersih  oleh supremasi agama Hindu. Para Bràhmaóa yang memegang tradisi Veda, teristimewa filsafat Vedànta berhasil memenuhi keinginan masyarakat dengan memberikan berbagai jalan  melalui berbagai Sampradaya atau sekta seperti Úaiva, Vaiûóava dan terakhir adalah Úakta. Demikianlah secara teratur  gerakan missionaris (Dharmadùta) menyebar luaskan berbagai kitab seperti Bhagavadgìta, Ràmàyaóa dan Bhàgavata Puràóa.  Secara geografis Úaiva dominan di India Selatan, Vaiûóava berkembang di Utara, sementara itu di Bengal (Benggala) , Assam dan Orissa berkembang  pesat Úakta dan pengaruh yang terakhir ini sampai ke Indonesia dan khususnya Bali. Upacara dan perayaan Galungan mengingatkan perayaan Durgàpùjà di India

Hinduisme dan Budaya Bali

Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Bali tidak terlepas dengan perkembangan agama Hindu di Indonesia. Demikian pula perkembangan agama Hindu di Indonesia merupakan kelanjutan dari perkembangan agama Hindu di India. Sejarah dan perkembangan Hinduisme  di Indonesia, berdasarkan bukti-bukti sejarah telah tiba pada abad ke 4 dan 5 Masehi, terutama di Kalimantan Timur (pada beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja Mùlavarman dan di Jawa Barat oleh raja Pùrnavarman) yang datang dari  India Selatan. Selanjutnya perkembangan agama Hindu di Jawa Tengah ditandai dengan pendirian “Lingga” oleh raja Sanjaya pada tahun 654 Saka atau 732 Masehi yang dikenal sebagai pendiri dinasti Matarama Kuno. Sejak berdirinya kerajaan dari dinasti Sanjaya yang disusul dengan dinasti Sailendra di Jawa Tengah, terjadi pula perkembangan Hindusime di Jawa Timur (berdasarkan  prasasti Dinoyo, Malang) dan di Bali. Di Bali sejarah dan perkembangan agama Hindu diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tangah dan Jawa Timur. Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi:  “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu Hinduisme (sekta Siva Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad k2-8 Masehi. Bukti lain yang merupakan awal penyebaran Hinduisme di Bali adalah ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali.

Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkann kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali  dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni Hinduisme. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri  pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Varmadeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.

Di samping itu secara tradisional disebutkan bahwa agama Hindu dikembangkan oleh seorang maharsi bernama Markandeya. Maharsi Markandeya datang ke pulau Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian . Daerah yang dituju pada mulanya adalah daerah di kaki gunung Agung, kemudian pindah menuju arah Barat dan tiba di desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu (lima jenis logam) di pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (1957), maharsi Markandeya ini yang mengajarkan agama Siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki (Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat ini. 

Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan  yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Tatiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.

Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspediri Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada. 

Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati i Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan kegamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini. Saat itu sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.
Pada saat Senapati i Kuturan dijabat oleh Mpu Rajakerta (kini lebih populer disebut dengan nama Mpu Kuturan) rupanya seluruh sekta tersebut dikristalisasikan dalam pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali hingga kini. Fragmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa peninggalan purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual.

Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai dengan 19 Masehi), di bawah hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi Majapahit ditransfer ke Bali bahkan di dalam kitab Nagarakrtagama disebutkan “Bhumi Balya i sacara lawan bhumi Jawa”, yang menunjukkan bahwa pengaruh Majapahit demikian dominan di Bali. Pada masa pemerintahan raja besar Waturenggong  (Dalem Batrurenggong) di Gelgel, seorang penasehat raja bernama Danghyang Nirartha  (Dwijendra) sangat berperanan. saat itu kehidupan agama diwarnai dengan perkembangan Siwaisme yang diminan, di samping dakui pula eksistensi Buddhisme (dengan tokohnya Danghyang Astapaka) dan Vaisnava (dengan tokohnya Mpu Mustika) yang hingga kini, walaupun disebut sebagai Hinduisme atau agama Hindu (Hindu Dharma), unsur-unsur ketuga sekta tersebut masih dapat diamati. 

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa kehidupan agama Hindu di Bali sudah berkembang sejak lama dan karateristik Hindu Dharma yang universal sejak awalnya tetap dipertahankan diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang dikenal di Bali dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan dengan bumi serta lingkungannya.

Bila kita melihat bermacam-macam kebudayaan daerah yang terdapat di Indonesia, maka nampak jelas perbedaan antara budaya atau kebudayaan Bali dengan budaya dan kebudayaan daerah lainnya. Populernya Bali di seluruh penjuru dunia adalah karena kebudayaannya yang luhur dan indah itu, tentu pula di samping potensi alamnya tempat budaya Bali tumbuh dan berkembang. Bagi pengamat sepintas, sulit pula membedakan antara agama Hindu dan budaya Bali, oleh karena itu sering terjadi identifikasi bahwa agama Hindu sama dengan kebudayaan Bali. Kerancuan ini perlu dijelaskan, bahwa kedudukan agama Hindu dalam hubungannya dengan budaya Bali adalah merupakan jiwa dan nafas hidup dari budaya danm kebudayaan ini.

Agama Hindu dapat disebut sebagai isi, nafas dan dan jiwa dari budaya Bali sebagai ekspresi atau gerak aktivitasnya. Agama Hindu sesuai dengan sifat ajarannya senantiasa mendukung dan mengembangkan budaya setempat. Agama Hindu ibarat aliran sungai, kemana sungai mengalir, di sanalah lembah disuburkan. Budaya dapat pula dibandingkan sebagai wadah dan agama sebagai air. Warna dan bentuk wadah menentukan warna dan bentuk air di dalam wadah itu. Demikianlah hubungannya agama Hindu dengan budaya atau kebudayaan Bali. Perbedaan budaya tidak akan menimbulkan perbedaan dalam pengamalan ajaran agama oleh umatnya, karena agama Hindu di manapun dianut oleh pemeluknya, ajarannya selalu sama, univesal dan bersifat abadi.

Dalam hubungannya dengan kebudayaan Bali, agama Hindu yang merupakan jiwa, inti atau fokus budaya itu memancar pada: (1). pandangan hidup masyarakat Bali, (2). seni budaya Bali, (3). adat-istiadat dan hukum adat yang merupakan pangejawantahan dari hukum Hindu dan (4). organisasi sosial kemasyarakatan tradisional seperi desa Adat, Subak dan lain-lain. Jalin menjalinnya berbagai aspek budaya yang bernafaskan ajaran Hindu. Aspek-aspek budaya inilah merupakan mosaik kebudayaan Bali dewasa ini.


Simpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas secara singkat dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 

1. Agama Hindu sebagai agama yang tertua tumbuh dan berkembang tidak terlepas dengan pengaruh dan dukungan lingkungan alam dan budaya dari suatu masyarakat pendukungnya. Demikianlah pada awalnya tidak terlepas dari peradaban lembah Sindhu dan pengaruh lokal di India Utara, Selatan atau Timur. 

2. Nama Hindu bukanlah nama asli dari agama ini, melainkan diberikan oleh orang asing yang mengadakan kontak dengan bangsa Àrya yang pertama kali menetap di lembah sungai Sindhu kemudian menyebar ke berbagai penjuru  India dan berasimilasi dengan  berbagai suku bangsa asli di anak benua tersebut. Hinduisme kemudian berkembang di Nusantara (Indonesia) termasuk Bali dengan warna luarnya sendiri.

3. Nama asli agama Hindu adalah Sanàtana Dharma (karena ajarannya bersifat abadi dan berlaku sepanjang masa). Nama lainnya adalah Vaidika Dharma, karena bersumber pada kitab suci Veda.

4. Karakteristik agama Hindu memberikan kebebasan kepada umat-Nya, namun masih dalam koridor yang disebut Àdikara (disiplin diri) dan Iûþadevatà (aspek Tuhan Yang Maha Esa, yang dipuja dan sangat didambakan kasih dan karunia-Nya.

5. Dalam perkembangan agama Hindu dikenal adanya berbagai Sampradaya yang oleh orang Barat disebut Sekta, dan yang sangat dominan dan juga berpengaruh ke Indonesia adalah Úaiva,Vaiûóava dan Úakta sedang di Bali yang dominan adalah Úaiva Siddhanta (Tri Murti) yang sangat kental mendapat pengaruh Tantrik. 

6. Budaya Bali merupakan ekspresi dari agama Hindu, semua aspek budaya Bali senantiasa diabdikan untuk kemuliaan agama Hindu, demikian pula sebaliknya agama Hindu senantiasa menjiwai semua aspek budaya tersebut. Hubungan antara agama dan budaya Bali sangat sulit dipisahkan, bagaikan jalinan tenun ikat Bali yang mempesona. 



Daftar Pustaka


Chandrasekharendra Sarasvati, Úrì.1988. The Vedas. Bombay, India: Bharatiya Vidya Bhavan.
  
Dayananda Sarasvati, Úrì Swami.1974.  The Ågveda. Tr.Acharya Dharma Deva Vidya
Martanda, Volume I, New Delhi:  Sarvadeshik Arya Pratinidhi  Sabha.

Klostermaier, Klaus, K.1990. A Survey of Hinduism. New Delhi, India:  Mushiram Manoharlal.
                                                
Mahadevan, T.M.P. 1984. Outlines of Hinduism. Bombay, India: Chetana.
  
Mahari Natih, G.1994. Peranan Umat Beragama dalam memantapkan Kesatuan Bangsa, Makalah Menyambut Nyepi Tahun 1916 Úaka, dalam Umat Beragama dan Persatuan Bangsa, Jakarta: Pahara Nyepi 1916 Úaka, Korpri-ABRI-Umat Hindu.

Nehru, Jawaharlal. 1960.  The Discovery of India. London, United Kingdom: Meridian Book.

Oka Punia Atmaja,  I B. 1970. Pañca Úraddhà. Denpasar:  Parisada Hindu Dharma Pusat.                                  

Pendit, Nyoman S.1970. Bhagavadgìtà. Jakarta: Ditjen Bimas Hindu dan Buddha,  Departemen Agama R.I.

Radhakrishnan, S. 1990. The Principal Upanisads: Bombay-New Delhi: Oxford University Press.

Úivananda, Úrì Swami. 1988.  All About Hinduism, Sivanandanagar, Uttar Pradesh, India: Divine Life Society.


------------------------
*   Makalah dibawakan pada Pemantapan Kepemangkuan di Wantilan Pura Dalem Ped Nusa Penida, hari Kamis, .26 April  2007  diselenggarakan  oleh  Yayasan Hindu Nusantara.
**  Dr. I Made Titib Ph.D, memperoleh gelar Doktor (Ph.D) dalam Ilmu Veda di Gurukula Kangri University, Haridvar, Uttar Pradesh, India, 1993,  dan gelar Doktor Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana, 2005. Mantan Ketua STAHN Denpasar, Direktur Urusan Agama Hindu, Departemen Agama R.I., dan Ketua I Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Kini Lektor Kepala (IV/c) dan Dekan Fakultas Brahma Widya (Teologi dan Filsafat) Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Bali.

                                               .
  



 


Sejarah Perkembangan Agama Hindu (page2)

Sejarah Perkembangan Agama Hindu

Article Index
Sejarah Perkembangan Agama Hindu
Page 1
Page 3



Pernyataan-pernyataan di atas adalah benar sebab dalam ajaran agama Hindu dikenal banyak jalan atau cara mencapai Brahman, Tuhan Yang Maha Esa dengan ribuan Udbhava  (manifestasi)Nya dengan nama-Nya berbeda-beda. Tuhan Yang Maha Esa, melalui Avatàra-Nya Úrì Bhagavàn Kåûóa dalam  kitab suci Bhagavadgìta (IV.7) secara tegas menyatakan :


                     "Kapan saja dan dimana Dharma itu merosot
                        (mengalami keruntuhan) pada saat itu Aku
                     sendiri menjelma, wahai Kuntiputra".

Jadi bila kejahatan merajalela, terjadi kemerosotan dan kehancuran moral manusia, padaa saat itu Tuhan Yang Maha Esa akan turun untuk menyelamatkaannya. Walaupun karakteristik ajaran Hindu Dharma  sebagai telah diuraikan di atas, tidaklah berarti ajaran agama Hindu itu tidak jelas dan menafsirkannya di luar kewenangan dan jangkauan kitab suci. Memang kelihatan demikian banyaknya variasi di dalam Hindu Dharma, namun sesungguhnya ajarannya dimana-mana dan kapan saja sama. Essensi ajaran Hindu Dharma yang bersumber dan mengalir dari kitab suci Veda dengan susatra Hindu lainya yang ditulis dalam berbagai bahasa dirumuskan dalam ajaran Úraddhà (Tattva)  atau keimanan, dilaksanakan dan diejawantahkan dalam prilaku Tata Suúìla  atau budi pekerti berdasarkan ajaran Dharma dan ekspresinya nampak pada dalam Àcàra Agama.


Ajaran Úraddha yang merupakan dasar keimanan Hindu Dharma dirumuskan dalam Pañca Úraddhà, yakni keyakinan terhadap Brahman, para dewa manifestasi-Nya dan Avatàra-Nya, keyakinan terhadap kebenaran Àtman, roh atau jiva yang menghidupkan semua mahluk dan Atman merupakan percikan-Nya (Brahman/Tuhan Yang Maha Esa) Yang Trancendent maupun Yang Immanet. Úraddha, keyakinanatau keimanan yang ketiga adalah terhadap kebenaran adanya Karmaphala (hukum perbuatan), keimanan yang  keempat adalah keyakinan terhadap penjelmaan kembali, Saýsàra (rebith) dan yang kelima adalah Mokûa, yakni kebebasan tertinggi yang mesti dicapai umat manusia, bersatunya Atman dengan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa.

Ajaran Hindu Dharma tidaklah ada artinya bila tidak diamalkan oleh pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana seharusnya sebagai mahluk individu, sosial yang hidup bersama menikmati kemurahan Bunda Pertiwi bersama makhluk hidup lainnya. Semuanya itu dijelaskan dalam ajaran Tata Suúìla Hindu Dharma, yang merupakan pedoman yang harus dilakoni oleh setiap umat. Aspek Àcàra sangat komplek menyangkut berbagai aktivitas keagamaan terutama bidang ritual dengan berbagai kaitannya dan hal ini oleh karena sifatnya berbagai bentuk atau wujud pengalaman ajaran yang kasat mata, maka faktor lingkungan alam dan budaya yang menekankan keharmonisan memberikan rona dan mewarnai perbedaan-perbedaan praktek-praktek ritual/keagamaan. Demikianlah keanekaragaman  dalam bentuk luarnya, namun memiliki satu keragaman dan satu tujuan yakni sebagai dijadikan motto oleh Sri Ramakrishna Mission :
         "Àtmanaá Mokûàrthaý Jagadhitàya ca"
        (merealisasikan Sang Diri, Atman yang tidak lain adalah percikan Tuhan Yang Maha Esa             untuk mewujudkan kesejatraan lahir kebahagian batin (Mahadevan, 1984: 297)

Mewujudkan Jagadhita (kesejatraan lahiriah) dan Mokûa (kebahagian yang sejati) adalah tujuan Hindu Dharma dan juga sekaligus pula tujuan hidup manusia. Motto Sri Ramakrishna Mission, sebuah organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh Swami Vivekananda untuk menghormati gurunya, yang bernama Sri Ramakrishna di atas tersebut oleh Drs. Ida Bagus Oka Punia Atmaja (1970 : 5) dijadikan sebagai rumusan tujuan agama Hindu dalam formulasi Mokûàrthaý Jagadhitàyaca iti Dharmaá. Formulasi ini secara tidak langsung mendapat pengukuhan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, karena formulasi tersebut pertama kali kita jumpai dalam buku Upadesa yang diterbitkan dan mendapat rekomendasi dari majelis ini. Kemudian dalam setiap buku yang terbit setelah buku Upadesa ini, selalu merumuskan tujuan agama Hindu seperti tersebut dan rumusan ini sangat membantu umat Hindu dalam memahami tujuan agamanya.



Awal Pertumbuhan Hindu Dharma

Adalah sangat sulit untuk menyatakan secara tegas awal pertama dan tempat dimulainya pertumbuhan agama Hindu. Seperti telah disebutkan pada bagian awal dari tulisan ini, nama agama Hindu atau Hindu Dharma ini sedemikian rupa berkembang dan bahkan diberikan oleh orang-orang Barat yang datang ke India. Hindu Dharma dewasa ini mengacu  berbagai sumber baik tradisi maupun utamanya adalah kitab suci Veda sebagai sumber. Secara sederhana unsur atau sumber dari Hindu Dharma dewasa ini meliputi:

1. Tradisi penduduk asli India, yang berasal dari jaman batu sejak 500.000 tahun yang lalu yang hingga kini masih diyakini dan dipraktekkan oleh beberapa penduduk asli atau àdivàsi.


2. Pengaruh dari peradaban lembah sungai Sindhu, yang dapat ditemukan kembali sekitar pertengahan abad yang silam yang membentang dari India Barat Laut ke India Utara.

3. Pengaruh dari budaya Dravida kuno, yang nampak pada budaya Tamil dewasa ini yang juga memperlihatkan pengaruh peradaban lembah sungai Sindhu.

4. Ajaran dan kebudayaan Veda yang dibawa oleh bangsa penakluk, yakni suku bangsa Arya yang kemudian menjadi pemukim India yang kemudian pengaruhnya sangat luas dan menyeluruh, hampir di seluruh bagian India (Klostermaier, 1990: 31).

Hingga saat ini masing terdapat pendapat yang kontroversial yang menyatakan bangsa bangsa Arya sebagai bangsa Indo-German yang berasal dari Eropa yang menaklukkan India, karena sebagian sejarawan India menyatakan bahwa bangsa ini berasal dari India Utara atau dari bagian Tengah Himalaya. Pemberian nama Sanàtana Dharma adalah sangat umum terhadap agama Hindu di India menunjukkan penekanan yang berbeda terhadap makna istilah ini. Nama Sanatàna Dharma ini pada abad ke-9 Masehi lebih dipopulerkan lagi oleh Úrì Úaýkaràcarya dengan mendirikan perguruan keagamaan yang sangat berpengaruh untuk menghadapi perkembangan Buddhisme dan Jainisme dengan mengembangkan dan menyebar-luaskan duta dharmanya ke seluruh penjuru India dan pada tahun 1875 Swami Dayananda Sarasvati mendirikan Àrya Samaj, yang mempopulerkan bahwa Sanàtani Pauràóika (Sanàtana Dharma yang bersifat Pauràóika) adalah tidak murni dan menyatakan bahwa Àrya Samaj adalah Sanàtana Dharma yang sejati berdasarkan Veda. Namun dalam perkembangan terakhir pengertian Sanàtana Dharma meliputi pula Jaina, Buddha, Sikh dan semua Sampradaya atau sekta dalam Hinduisme.

Dewasa ini sebagian umat Hindu lebih menekankan pengertian terhadap agama mereka dalam bentuk Sampradaya seperti Úaiva (pemuja Úiva), Vaiûóava (pemujja Viûóu), Úàkta (pemuja sakti) atau nama lainnya sesuai dengan pengelompokan yang mereka ikuti pada umumnya di bawah bimbingan seorang Yogi besar. Selanjutnya pengertian yang bersifat lebih spesifik terhadap Hindu Dharma dikemukakan oleh pimpinan Viúva Hindu Parisad, Organisasi Hindu Sedunia yang didirikan bulan Januari 1964 yang melaksanakan sebuah pertemuan yang amat bersejarah di kota Prayàga (Allahabad), pada saat itu bertepatan dengan upacara besar mandi suci yang disebut Kumbha Mela. Pertemuan itu mencoba merumuskan pengertian tentang Hindu Dharma yang didasarkan atas keyakinan, upacara yang umum serta menerbitkan sebuah buku pedoman, dalam rangka menyatukan pandangan  dalam rangka kesatuan bagi penganut Hindu.

Memang sangat sulit untuk menentukan sejak kapan sesungguhnya dimulainya perkembangan agama itu. Bila kita mendasarkan pada dokumen tertulis maka tidak ada yang lain kecuali kembali kepada kitab suci Veda, khususnya kitab suci Ågveda dan tentang Ågveda ini Maurice Winternitz dalam bukunya A History of India Literature, Vol.I (1927) menyatakan bahwa: Veda (Ågveda) adalalah pustaka monument tertua Indo-Eropa. selanjutnya ia menyatakan: Bilamana kita ingin mengerti tentang kebudayaan Indo-Eropa tertua, kita mesti pergi ke India yakni tempat susastra tertua orang-orang Indo-Eropa disimpan. Apapun pandangan kita, kita boleh menerima berbegai perosalan tentang kekunaan, tetapi sesungguhnya secara ringkas dapat kami nyatakan bahwa Ågveda  adalah susastra monumental tertua Indo-Eropa yang kita miliki.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Bloomfield dalam bukunya The Religion of Veda, yang menyatakan bahwa Ågveda bukan saja dokumen tertua umat manusia, tetapi juga dokumentasi di Timur yang paling tua. Susastra ini lebih tua dari Yunani  maupun Israel dan memperlihatkan peradaban yang tinggi di antara mereka, yang dapat ditemukan dalam mantra-mantra Ågveda (Radhakrishnan, 1990: 29). Namun di samping dokumen tertulis ini kita tidak dapat melepaskan kita terhadap peninggalan kepurbakalaan India, khususnya peninggalan prasejarah  berupa lukisan pada dinding goa di Bhimbetka (sekitar 30.000 Sebelum Masehi) yang baru ditemukan pada tahun 1967  dan kita tidak mengetahui apakah atau bagaimana hubungan orang-orang yang menciptakan peninggalan tersebut dengan penduduk India dewasa ini. Keagamaan penduduk asli (àdivàsi) menunjukkan pengaruh kuat dari agama Hindu, dan kurang lebih ajaran Hindu yang bersifat universal seperti kelahiran kembali dan perpindahan jiwa rupanya berasal dari di antara penduduk asli itu. Pengetahuan kita tentang peradaban lembah sungai Sindhu adalah fragmentaris, peninggalan berupa huruf/tulisan belum dapat dibaca, uraian  tentang budaya non material dari orang-orang lembah sungai Sindhu di dasarkan pada sedikit perkiraan belaka.  

Beberapa peninggalan berupa stempel dan terakota (dari tanah liat) yang berbentuk wajah manusia dihubungkan dengan pemujaan kepada Úiva dan Úakti. Dari kerangka yang ditemukan, menyatakan bahwa ras mereka bercampu dan umumnya kota-kota ha ncur karena kekuatan yang tiba-tiba. Untuk sementara waktu dihubungkan dengan ivasi dari suku asli Àrya, yang kitab sucinya adalah Ågveda, yang sering disebut menghancurkan pusat kekuasaan dan pola irigasi mereka. Pendapat baru-baru ini mengatakan bahwa  kota itu hancur secara perlahan akibat kekeringan pada dasar sungai Sindhu, dan sisa kehancuran dari bangsa Àrya sangat kecil.  Pendapat yang lain menghubungkan bahwa leluhur orang-orang Tamilke Mohenjo-Daro dan Harappa, Dravida Kuno diduga berpindah ke selatan dan hingga kini bermukim di Tamilnadu, tetap memelihara peninggalan lembah sungai Sindhu, mitologi dan dewa-dewa mereka, yang kita temukan kembali di dalam agama yang bersifat Brahmana sesuai kitab-kitab Puràóa, Saýhità dan Àgama (Klostermaier, 1990: 35).


Elemen Budaya Bangsa Arya di dalam Hindu Dharma

Perpindahan bangsa Àrya sangat penting sepanjang sejarah India, yang secara kuat membentuk atau mempolakan agama Hindu. Dengan tidak mengurangi arti bahwa para imigran itu memiliki agama yang sama, namun kenyataannya bahwa mereka dibedakan atas lima kelompok yang di dalam kitab suci Veda disebut Pañca Janaá. Mereka menyebut diri mereka àrya, yang terhormat, orang-orang yang memiliki kedudukuna dan kualitas, menunjukan arogansi terhadap mereka yang berkulit hitam, hina. Seperti telah disebutkan di depan, tentang asal muasal bangsa Àrya, B.G. Tilak menyatakan mereka berasal dari bagian kutub Utara dan pindah ke India sekitar 6.000 Sebelum Masehi. F. E Pargiter, seorang sarjana besar Puranic (ahli Puràóa), mengidentifikasikan bangsa Àrya dalam Veda dengan Aila dalam Puràóa, dan menyatakan bahwa bangsa Arya datang ke India sekitar 2.050 Seb. Masehi dari tengah-tengah pegunungan Himalaya dan pertama kali menetap di Pràyàga, dari sini kemudian mereka menyebar menuju ke arah Barat Laut. Walaupun pendapat Pargiter ini dipandang cukup kuat, namun para ahli Timur (Indologist) pada umumnya tetap mendukung teori yang menyatakan bahwa bangsa Àrya datang ke India berasal dari barat Laut, apakah dari Selatan Rusia atau dari Iran, setelah pecah yang kemudian sebagian menjadi orang Iran dewasa ini. Mereka sampai ke India antara 1.500-1.200 Sebelum Masehi dalam beberapa gelombang, menyebar ke Timur dan Selatan. 

Runutan sejarah India Kuno merupakan lapangan study yang sangat sulit, dengan berbagai metodologi yang secara radikal berbeda-beda dikembangkan oleh para ahli, mengakibatkan sangat sulit menentukan tanggal yang pasti, oleh karenanya secara ekplisit maupun implisit menolak hasil riset yang dilakukan oleh ahli yang lain.
Bertentangan dengan budaya urban dari peradaban Harappa, bangsa Àrya membawa relatip sederhana budaya desa dengan sistem kekerabatan yang patriarchat. 

Meskipun terdapat perkiraan yang kuat tentang institusi Bramanisme dan inti dari Ågveda sendiri menambahkan infomasi tenga penyerangan bangsa Àrya ke India, keduanya berhubungan demikian dekat dan demikian masa awal dimaksudkan untuk semua tujuan praktis, secara ringkas dapat dikatan bahwa agama Veda  tidak lain adalah aturan sistem pemujaan dari bangsa Àrya. Sejak jaman Vìracarita dan Puràóa yang kemungkinan pada masa yang bersamaan, menggambarkan aspek yang populer dari agama Hindu Kuno, yang  diyakini berasal dari masa awal dalam mellengkapi ajaran suci Veda.